Beberapa bulan terakhir pada 2010, dunia pelayaran nasional memanas menyusul digulirkannya rencana revisi terbatas UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran oleh pemerintah. Diperkirakan situasi ini akan terus berlanjut dalam tahun ini, bahkan mungkin akan bereskalasi karena telah terlontar berbagai pernyataan menyakitkan dari pihak-pihak yang berseteru. Karenanya, tertutup sudah peluang untuk berbaikan.
Pihak yang menentang revisi menilai kebijakan pemerintah tersebut berpotensi menggagalkan penerapan azas cabotage yang telah susah payah mereka perjuangkan sejak 2005. Sementara, pemerintah menilai penerapan azas cabotage, terutama untuk sektor minyak dan gas, dapat menurunkan produksi minyak nasional sebesar 270.000 barel per hari (bph).
Sebagaimana galibnya, pemerintah keukeuh dengan rencananya; anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Soalnya rencana revisi sudah masuk dalam program legislasi nasional DPR RI.
Opsi ketiga
Interaksi antara pemerintah dan kelompok penentang revisi UU Pelayaran hanya menyediakan dua opsi untuk disikapi oleh stakeholder atau pemangku kepentingan kemaritiman di Tanah Air, menolak atau mendukung. Sebetulnya, ada opsi ketiga yang layak dipertimbangkan, yaitu merevisi total peraturan perundangan itu. Revisi total dibutuhkan karena UU Pelayaran menyimpan beberapa kesalahan yang sangat substansial akibat dari konfigurasi politik ketika ia dibahas di DPR beberapa tahun lalu.
Konfigurasi tadi mengakibatkan pembahasan RUU tidak maksimal dan sarat dengan politik barter; ada pengaturan yang seharusnya dimasukkan tetapi ditinggalkan atau sebaliknya. Jika kesalahan itu tidak diperbaiki melalui revisi total sekarang, revisi parsial yang akan dilakukan tidak akan banyak berpengaruh. Bisa jadi persoalan yang mendorong pemerintah merevisi ketentuan itu, yakni kekhawatiran tidak akan tercapainya lifting minyak seperti yang ditargetkan dalam APBN, dapat dipecahkan.
Namun, karena UU Pelayaran dari sono-nya sudah mengidap "kekurangan genetis" dikhawatirkan akan muncul persoalan lain yang membutuhkan revisi juga jika ingin diselesaikan. Kesalahan substansial UU Pelayaran yang pertama adalah ia tidak memiliki spirit inklusifitas (all inclusive policy). Simaklah pernyataan Direktur Lalu Lintas Laut, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dalam media massa. Menurut dia, pihaknya tidak bisa berbuat banyak atas desakan INSA untuk tidak memberikan lagi persetujuan operasi untuk kapal bertipe jack up rig, MODU (mobile offshore drilling unit), drill ship, seismic 3D, dan construction ship karena kewenangan penuh ada di tangan BP Migas.
Jika UU Pelayaran mengadopsi spirit inklusifitas, kejadian di depan tidak akan terjadi. Ini berarti, selama suatu benda memiliki karakteristik kapal atau dianggap, maka Kemenhub-lah instansi satu-satunya dan terakhir yang memiliki kewenangan mengaturnya. Di Inggris semua tipe kapal pengaturannya berada di bawah jurisdiksi otoritas pelayarannya.
Armada perikanan juga menyimpan potensi permasalahan seperti yang dialami oleh armada offshore karena kewenangan penuh pengaturannya tidak berada di tangan Kemenhub. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah instansi utama yang mengaturnya. Lembaga ini malah memiliki syahbandar sendiri untuk menegakkan peraturan perundang-undangan terkait kapal perikanan.
Keberadaan Penjagaan Laut dan Pantai atau Indonesia Sea and Coast Guard yang hanya mengemban fungsi keselamatan pelayaran (maritime safety), padahal di banyak negara lembaga ini juga berfungsi menjalankan maritime security atau keamanan maritim, juga dimungkinkan terjadi karena tidak adanya prinsip inklusivitas dalam UU Pelayaran.
Tidak inklusifnya UU Pelayaran sebetulnya bukan hal yang aneh. Di Indonesia hampir semua aturan perundang-undangan disusun dalam keadaan vakum. Kementerian yang mengusulkan satu RUU sangat dikuasai oleh ego sektoralnya masing-masing, sehingga pengaturan yang seharusnya menjadi jurisdiksi kementerian lain tetap saja diklaim dan ingin diatur berdasarkan aturan yang mereka buat.
Kesalahan mendasar UU Pelayaran yang terakhir, ia tidak menerapkan prinsip segregasi. Maksudnya, lembaga baru yang diamanatkan oleh peraturan tersebut untuk dibentuk, dalam hal ini Otoritas Pelabuhan, tidak dipisahkan (segregate) dari induknya, Kemenhub. Maksud dipisahnya lembaga baru dari induknya adalah untuk mencegah conflict of interest yang mungkin saja muncul antara lembaga baru itu dengan induknya ketika menjalankan fungsi yang diembannya.
Di samping itu, prinsip segregasi menjadikan personil yang mengisi jabatan di lembaga baru lebih kredibel karena dipilih dengan syarat-syarat yang ketat, bahkan difit-and-proper test di parlemen. Sayangnya, prinsip segregasi tidak menjiwai UU Pelayaran sehingga personil yang ditunjuk untuk mengawaki OP dipilih tidak berdasarkan prinsip the right man on the right place, melainkan like dan dislike. Jadinya, lembaga itu dinilai tidak akan sanggup memajukan pelabuhan nasional.
antaranews.com